Lentera Insan Child Development and Education Center

Selasa, 04 Maret 2008

MENUMBUHKAN KONSEP DIRI POSITIF PADA ANAK

Jika anak banyak dimusuhi,Ia akan terbiasa menentang
Jika anak dihantui ketakutan,Ia akan terbiasa merasa cemas
Jika anak banyak dikasihi,Ia akan terbiasa meratapi nasibnya.
Jika anak banyak diberi dorongan,Ia akan terbiasa percaya diri
Jika anak banyak diberi pujian,Ia akan terbiasa menghargai
Jika anak tidak banyak dipersalahkan,Ia akan terbiasa senang menjadi dirinya sendiri
(Dorothy Low N)

Mungkin kita semua cukup familiar dengan kata-kata diatas. Atau mungkin saja masih tampak asing bagi kita. Bagaimanapun, hal yang terpenting adalah bagaimana kita memaknai dengan bijak kata-kata diatas.
Keluarga adalah unit sosial paling kecil dalam masyarakat yang peranannya besar sekali terhadap proses sosialisasi dan sivilasi anak. Anak yang dilahirkan dalam keadaan lemah tergantung sepenuhnya dari lingkungan, yakni lingkungan keluarga dan lebih luas lagi lingkungan sosialnya. Anak yang baru dilahirkan bisa diibaratkan sebagai kertas putih yang masih polos dan bagaimana jadinya kertas putih tersebut dikemudian hari, tergantung dari orang yang akan menulisinya. Jadi bagaimana kepribadian anak dikemudian hari, tergantung dari bagaimana ia berkembang dan dikembangkan oleh lingkungannya terutama oleh lingkungan keluarganya.
Pengaruh lingkungan keluarga memang sangat besar bagi kehidupan anak. Salah satu dampak langsung dari pengaruh kehidupan keluarga adalah pembentukan konsep diri seorang individu. Konsep diri, yang merupakan pandangan/ sikap seseorang mengenai dirinya, bukanlah sesuatu yang dibawa sejak lahir, melainkan terbentuk melalui interaksi individu dengan lingkungan, terutama lingkungan sosial tempat individu itu hidup. Lingkungan sosial pertama bagi hampir setiap individu adalah keluarga, maka dari itu konsep diri seseorang pertama kali terbentuk dalam keluarga.
Konsep Diri pada Anak

Konsep diri disini adalah bagaimana anak-anak mempersepsikan dirinya. Menurut kesimpulan Dr. Maxwell Maltz, tindakan manusia erat kaitannnya dengan bagaimana individu itu mendefinisikan dirinya. Persepsi dan definisi diri ini ada yang positif dan ada yang negatif. Ada yang mendukung munculnya success factors dan ada yang mendukung munculnya failure factors.
Perlu disadari bahwa proses terbentuknya konsep diri pada anak-anak berbeda dengan orang dewasa. Ini karena orang dewasa sudah melewati sekian proses tahap perkembangan yang memungkinkannya untuk mengaktifkan kapasitas-kapasitas dalam membedakan sesuatu. Berbeda dengan anak-anak, konsep diri pada anak-anak antara lain diperoleh dari pendapat/ penilaian dari luar dirinya (orang lain/ lingkungan). Karena itu, teori pendidikan mengatakan, sebagian besar cara belajar anak adalah melalui imitasi/ meniru (pengalaman indrawi).
Jadi, tidak ada yang salah dari kata-kata Dorothy Low diatas. Jika anak-anak dibesarkan dengan orang tua yang selalu menghargai, demokratis, mendengarkan keluh kesah anak, kaya akan pujian, sanjungan, penuh dengan afeksi; secara tidak sadar orang tua telah memberikan pil positif bagi perkembangan anak yang nantinya diharapakan anak akan menjadi pribadi yang tangguh, percaya diri, penolong, pemberani dan penyayang.
Namun, bila anak-anak dibesarkan dengan kecemasan, kekhawatiran, ekspektasi yang terlalu tinggi; secara tidak langsung orangtua telah menstransfer pil negatif bagi perkembangan anak yang efeknya anak merasa bodoh, egois, tidak patut dicintai, tidak patut dihargai, merepotkan, dsb.Bila anak sudah memandang dirinya secara negatif/ berkonsep diri negatif maka tidak jarang perilaku negatif sering timbul, seperti: berbohong, marah-marah, cengeng, membantah, atau dampak jangka panjangnya tidak menutup kemungkinan anak akan terlibat dalam kenakalan remaja (juvenile deliquency) seperti: bolos sekolah, perkelahian antar pelajar, narkoba dsb.
Bila diibaratkan dengan kendi, maka anak-anak yang diberi pil positif akan menjadi kendi yang kencang. Namun, bila anak-anak diberi pil negatif maka akan menjadi kendi yang kempot.
Hal-hal yang bisa dilakukan untuk membuat kendi kencang

1. Memberi ransangan yang membangkitkan
Rangsangan ini banyak bentuknya dan bisa dipilih sesuai keadaan, dalam arti sesuai dengan kebutuhan, kepentingan, kemanfaatan. Misalnya: membangkitkan jiwanya, membesarkan hatinya, memperkuat iman/ mentalnya, memberi bacaan yang menginspirasinya, mengarahkan anak mengidolakan tokoh-tokoh bermutu, mendiskusikan pekerjaannya, dll.

2. Mendengarkan dan perhatian yang empatik
Terkadang orang tua kurang begitu sensitif terhadap perasaan dan suasana (mood) anak. Orangtua kurang menyadari apa yang dipikirkan dan dirasakan anak mereka. Komunikasi adalah kunci yang membuka hubungan harmonis antara orang tua dan anak. Keluarga harus memiliki waktu cukup untuk berbincang-bincang dan mengembangkan keterbukaan antara orangtua dan anak. Jangan lupa untuk selalu menamai perasaan anak, seperti: “wah... kamu senang ya!”, “oh... kamu sedih ya!”, “sepertinya kamu kecewa sekali!”.

3. Bantu anak dalam menemukan kelebihan-kelebihannya
Terkadang orang tua sering kali lupa dan kurang adil dalam melihat sosok anak. Hal yang sering ditemukan terkadang sisi buruk/negatifnya saja. Fatalnya lagi, terkadang itu dijadikan label untuk anak. Pelabelan (labelling) inilah faktor yang menghambat orang tua untuk membangun definisi-definisi positif pada anak.
Dalam sebuah penelitian di USA (dalam Jack Canfield:1982), setiap anak sejak usia dini, menerima 6 komentar negatif untuk setiap 1 dorongan yang positif. Jadi, sudah saatnya untuk terus menggali potensi anak dan mulai menjaga lisan dengan bahasa-bahasa yang positif.

4. Hal terakhir yang terpenting adalah KETELADANAN
Ingat !! anak adalah peniru yang baik...

Akhirnya, perlakukanlah anak seperti kita ingin diperlakukan!
Isilah kendi-kendi itu sehingga menjadi kendi yang kencang dan semakin besar semakin gemuk dan berisi, sehingga anak-anak kita dapat tumbuh menjadi individu-individu yang memiliki konsep diri positif.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda